Rabu, 13 April 2016

MEMBUKA AIB ORANG LAIN SAMA DENGAN MEMAKAN BANGKAI ?



Pada dasarnya diharamkan bagi seorang muslim mengungkapkan aib saudaranya karena ini termasuk kedalam perbuatan ghibah, yaitu mengungkapkan aib saudaranya sesama muslim pada saat orang itu tidak ada dihadapannya dan saudaranya itu tidak menyukainya jika berita tersebut sampai kepadanya tanpa adanya suatu keperluan.
Para ulama mengharamkan ghibah ini jika dilakukan tanpa adanya suatu kepentingan bahkah termasuk kedalam kategori dosa besar, sebagaimana disebutkan didalam firman Allah swt :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
Artinya : “Dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hujurat : 12)

Didalam shahih Muslim dari hadits al ‘Ala bin Abdurrahman dari ayahnya dari Abu Hurairoh bahwa Nabi saw bersabda,”Tahukah kalian apa itu ghibah?’ para sahabat bertanya,”Allah dan Rasul-Nya lah yang mengetahuinya.” Beliau saw bersabda,”Engkau menyebutkan apa-apa yang tidak disukai oleh saudaramu.’ Beliau saw ditanya,’Apa pendapatmu, jika pada saudaraku itu benar ada apa yang aku katakan?’ beliau saw bersabda,’Jika apa yang engkau katakan itu benar (ada pada saudaramu) maka sungguh engkau telah melakukan ghibah dan jika apa yang engkau katakana itu tidak benar maka engkau telah berdusta.”
Namun ghibah atau menyebutkan aib saudaranya untuk suatu kepentingan maka dibolehkan, dan diantara hal-hal yang dibolehkannya ghibah adalah :

1. Adanya unsur kezhaliman.
Dibolehkan bagi seorang yang dizhalimi untuk mengadukannya kepada penguasa atau hakim atau orang-orang yang memiliki wewenang atau orang yang memiliki kemampuan untuk menghentikan kezhaliman orang yang berbuat zhalim itu kemudian orang itu mengatakan,”Sesungguhnya si A telah merzhalimiku, dia telah berbuat ini kepadaku, dia telah mengambil itu dariku atau sejenisnya.”

2. Meminta pertolongan untuk menghentikan kemunkaran dan mengembalikan orang-orang yang berbuat maksiat kepada kebenaran dengan penjelasannya yang mengatakan kepada orang yang diharapkan kesanggupannya untuk menghilangkan kemunkaran dengan mengatakan,”Si A melakukan ini dan itu maka cegahlah dia, atau perkataan sejenisnya.” Maksudnya adalah untuk menghilangkan kemunkaan dan jika tidak ada maksud yang demikian maka diharamkan.

3. Meminta fatwa, seperti penjelasannya kepada seorang mufti,”Ayahku telah menzhalimiku atau saudaraku atau fulan dengan perbuatan ini. Adakah balasannya ? Bagaimana caranya untuk melepaskan diri dari perbuatan itu dan mendapatkan hakku serta mencegah kezhaliman itu terhadapku?’ atau perkataan-perkatan seperti itu, maka hal ini dibolehkan untuk suatu kepentingan.

Namun yang lebih baik baginya adalah dengan mengatakan,”Bagaimana pendapatmu tentang seorang laki-laki yang melakukan perbuatan ini dan itu, atau seorang suami atau istri yang melakukan ini dan itu atau sejenisnya.” Ia hanya menyampaikan substansinya tanpa menyebutkan orangnya meski jika menyebutkan orangnya pun dibolehkan, berdasarkan hadits Hindun yang mengatakan,”Wahai Rasulullah saw sesungguhnya Abu Sofyan adalah seorang yang kikir…” dan Rasulullah saw tidaklah melarang Hindun.

4. Memberikan peringatan kepada kaum muslimin dari keburukan dan kejahatannya. Hal itu dalam lima bentuk sebagaimana disebutkan Imam Nawawi :
a. Mengungkapkan ‘cacat’ para perawi dan saksi yang memiliki cacat, ini dibolehkan menurut ijma’ bahkan diwajibkan demi menjaga syariah.
b. Memberitahukan dengan cara ghibah saat bermusyawarah dalam permasalahan keluarga besan, atau yang lainnya.
c. Apabila engkau menyaksikan orang yang membeli sesuatu yang mengandung cacat atau sejenisnya lalu engkau mengingatkan si pembeli yang tidak mengetahui perihal itu sebagai suatu nasehat baginya bukan bertujuan menyakitinya atau merusaknya.
d. Apabila engkau menyaksikan seorang yang faqih, berilmu berkali-kali melakukan perbuatan fasiq atau bid’ah sedangkan orang itu menjadi rujukan ilmu sementara kemudharatan yang ada didalam perbuatan itu masih tersembunyi maka hendaklah engkau menasehatinya dan menjelaskan perbuatannya itu dengan tujuan memberikan nasehat.
e. Terhadap seorang yang memiliki kekuasaan (amanah) yang tidak ditunaikan sebagaimana mestinya dikarenakan dirinya tidak memiliki kemampuan atau karena kefasikannya maka hendaklah hal itu diungkapkan kepada orang yang memiliki wewenang atau kemampuan untuk menggantikan orang tersebut dengan orang lain yang lebih mampu, tidak mudah tertipu dan istiqomah.

5. Apabila kefasikan atau bid’ah yang dilakukannya sudah tampak terang maka dibolehkan mengungkapkan yang tampak terang itu saja dan tidak dibolehkan baginya mengungkapkan aib-aib selain itu kecuali jika ada sebab lainnya.

6. Sebagai pengenalan atau pemberitahuan… apabila seseorang telah dikenal dengan gelar si Rabun, si Pincang, si Biru, si Pendek, si Buta, si Buntung atau sejenisnya maka dibolehkan baginya untuk mengenalkannya dengan perkataan itu dan diharamkan menyebutkannya dengan maksud menghinakannya akan tetapi jika dimungkinkan untuk pengenalannya dengan selain gelar-gelar itu maka hal ini lebih utama. (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 11445 – 1146)

Dengan demikian dibolehkan mengungkapkan aib korupsi yang dilakukan para pejabat dikarenakan adanya kemaslahatan didalamnya yaitu untuk menghentikan kezhalimannya yang dapat merugikan negara dan menyengsarakan masyarakat dan agar para pejabat lainnya tidak melakukan perbuatan itu atau pun agar pejabat itu diganti dengan pejabat lainnya yang lebih baik dan amanah.

Mentaati Pemimpin
Selain hadits-hadits yang anda sebutkan diatas yang memerintahkan seorang muslim untuk mendengar dan menaati pemimpinnya maka terdapat hadits-hadits lainnya, diantaranya :
Sabda Rasulullah saw,”Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menemui keadaan itu?’ Beliau saw bersabda,”Hendaklah engkau berkomitmen (iltizam) dengan jama’atul muslimin dan imam mereka.” (HR. Bukhori)
Sabda Rasulullah saw,”Barangsiapa yang melepaskan tangannya (baiat) dari suatu keaatan maka ia akan bertemu Allah pada hari kiamat tanpa adanya hujjah (alasan) baginya. Dan barangsiapa mati sementara tanpa ada baiat di lehernya maka ia mati seperti kematian jahiliyah.” (HR. Muslim)

Maksud kata “pemimpin/imam” yang harus didengar dan ditaati didalam hadits-hadits diatas adalah pemimpin seluruh kaum muslimin atau khalifah atau imam syar’iy yang dipilih oleh Ahlu al Halli wa al Aqdi yang merupakan perwakilan dari seluruh kaum muslimin bukan pemimpin suatu organisasi, jama’ah, partai, perkumpulan atau bukan pula penguasa suatu negara, pemimpin suatu daerah atau yang sejenisnya.
Sehingga apabila seorang pemimpin suatu organisasi atau jamaah atau seorang penguasa suatu negeri memerintahkan kemaksiatan walaupun dirinya masih melaksanakan shalat maka ia tidak boleh ditaati karena tidak ada ketaatan didalam maksiat kepada Allah swt, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Tidak ada ketaatan dalam suatu kemaksiatan akan tetapi ketaatan kepada hal yang ma’ruf.” (HR. Bukhori dan Muslim) (eramuslim)
Read More ->>

Larangan Ghibah, berkhianat dan membuka aib

Membicarakan keburukkan orang lain, apabila benar disebut Ghibah (gosip), apabila salah disebut mem-Fitnah.

Orang yang senang ber-ghibah adalah ciri orang yang kurang kerjaan, kurang etika dan kurang iman. Mereka menceritakan aib saudaramu dan dia dalam keadaan ghaib (tidak hadir di hadapanmu).

Ghibah juga kanibal karena mengumpat, mencemooh, mempermalukan seseorang seperti memakan daging saudaranya sendiri

"Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaknya ia berkata yang baik atau diam." (HR. Al-Bukhari).

QS.49-Al-Hujurat:12
“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan dari prasangka (kecurigaan), sesungguhnya sebagian dari prasangka itu dosa.  Dan janganlah kamu mencari-cari keburukan orang lain,  dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing satu sama lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik.  Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima Tubat lagi Maha Penyayang.”

QS.17-Al Israa':53
"Dan katakanlah kepada hamba² KU: "Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.”

QS.28 Al-Qashas:55 :
“Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling dari padanya.  Dan mereka berkata: "Bagi kami amal² kami dan bagimu amal² mu, semoga selamatlah kamu, kami tidak ingin bergaul dengan orang² yg jahil"

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Berhati-hatilah kalian dari tindakan berprasangka buruk, karena prasangka buruk adalah sedusta-dusta ucapan. Janganlah kalian saling mencari berita kejelekan orang lain, saling memata-matai, saling mendengki, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara” 
[H.R. Al-Bukhari hadits no. 6064 dan Muslim hadits no. 2563]

sumber
Read More ->>

LARANGAN GOSIP – MENGGOSIP DAN MENGGUNJING BERDASARKAN AJARAN ISLAM MENURUT AL QURAN DAN HADITS NABI

Saudaraku
Bagi kebanyakan kaum wanita, ibu-ibu ataupun remaja putri, bergunjing membicarakan aib, cacat, atau cela yang ada pada orang lain bukanlah perkara yang besar. Bahkan di mata mereka terbilang remeh, ringan dan begitu gampang meluncur dari lisan. Seolah-olah obrolan tidak asyik bila tidak membicarakan kekurangan orang lain. “Si Fulanah begini dan begitu…”. “Si ‘Alanah orangnya suka ini dan itu…”. Ketika asyik membicarakan kekurangan orang lain seakan lupa dengan diri sendiri. Seolah diri sendiri sempurna tiada cacat dan cela. Ibarat kata pepatah, “Kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tiada tampak.” Perbuatan seperti ini selain tidak pantas/tidak baik menurut perasaan dan akal sehat kita, ternyata syariat yang mulia pun mengharamkannya bahkan menekankan untuk melakukan yang sebaliknya yaitu menutup dan merahasiakan aib orang lain. Ketahuilah wahai saudariku, siapa yang suka menceritakan kekurangan dan kesalahan orang lain, maka dirinya pun tidak aman untuk diceritakan oleh orang lain. Seorang ulama salaf berkata, “Aku mendapati orang-orang yang tidak memiliki cacat/cela, lalu mereka membicarakan aib manusia maka manusia pun menceritakan aib-aib mereka. Aku dapati pula orang-orang yang memiliki aib namun mereka menahan diri dari membicarakan aib manusia yang lain, maka manusia pun melupakan aib mereka.”1 Tahukah engkau bahwa manusia itu terbagi dua:
Pertama: Seseorang yang tertutup keadaannya, tidak pernah sedikitpun diketahui berbuat maksiat. Bila orang seperti ini tergelincir dalam kesalahan maka tidak boleh menyingkap dan menceritakannya, karena hal itu termasuk ghibah yang diharamkan. Perbuatan demikian juga berarti menyebarkan kejelekan di kalangan orang-orang yang beriman. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
: إِنَّ الَّذِيْنَ يُحِبُّوْنَ أَنْ تَشِيْعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِيْنَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ
“Sesungguhnya orang-orang yang menyenangi tersebarnya perbuatan keji2 di kalangan orang-orang beriman, mereka memperoleh azab yang pedih di dunia dan di akhirat….” (An-Nur: 19)
Kedua: Seorang yang terkenal suka berbuat maksiat dengan terang-terangan, tanpa malu-malu, tidak peduli dengan pandangan dan ucapan orang lain. Maka membicarakan orang seperti ini bukanlah ghibah. Bahkan harus diterangkan keadaannya kepada manusia hingga mereka berhati-hati dari kejelekannya. Karena bila orang seperti ini ditutup-tutupi kejelekannya, dia akan semakin bernafsu untuk berbuat kerusakan, melakukan keharaman dan membuat orang lain berani untuk mengikuti perbuatannya3. Saudariku Engkau mungkin pernah mendengar hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi: “Siapa yang melepaskan dari seorang mukmin satu kesusahan yang sangat dari kesusahan dunia niscaya Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan dari kesusahan di hari kiamat. Siapa yang memudahkan orang yang sedang kesulitan niscaya Allah akan memudahkannya di dunia dan nanti di akhirat. Siapa yang menutup aib seorang muslim niscaya Allah akan menutup aibnya di dunia dan kelak di akhirat. Dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu menolong saudaranya….” (HR. Muslim no. 2699), Bila demikian, engkau telah tahu keutamaan orang yang suka menutup aib saudaranya sesama muslim yang memang menjaga kehormatan dirinya, tidak dikenal suka berbuat maksiat namun sebaliknya di tengah manusia ia dikenal sebagai orang baik-baik dan terhormat. Siapa yang menutup aib seorang muslim yang demikian keadaannya, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menutup aibnya di dunia dan kelak di akhirat. Namun bila di sana ada kemaslahatan atau kebaikan yang hendak dituju dan bila menutupnya akan menambah kejelekan, maka tidak apa-apa bahkan wajib menyampaikan perbuatan jelek/aib/cela yang dilakukan seseorang kepada orang lain yang bisa memberinya hukuman. Jika ia seorang istri maka disampaikan kepada suaminya. Jika ia seorang anak maka disampaikan kepada ayahnya. Jika ia seorang guru di sebuah sekolah maka disampaikan kepada mudir-nya (kepala sekolah). Demikian seterusnya4. Yang perlu diingat, wahai saudariku, diri kita ini penuh dengan kekurangan, aib, cacat, dan cela. Maka sibukkan diri ini untuk memeriksa dan menghitung aib sendiri, niscaya hal itu sudah menghabiskan waktu tanpa sempat memikirkan dan mencari tahu aib orang lain. Lagi pula, orang yang suka mencari-cari kesalahan orang lain untuk dikupas dan dibicarakan di hadapan manusia, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membalasnya dengan membongkar aibnya walaupun ia berada di dalam rumahnya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ اْلإِيْمَانُ قَلْبَهُ، لاَ تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِيْنَ، وَلاَ تَتَّبِعُوْا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَوْرَاتِهُ، وَمَنْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِي بَيْتِهِ
“Wahai sekalian orang yang beriman dengan lisannya dan iman itu belum masuk ke dalam hatinya5. Janganlah kalian mengghibah kaum muslimin dan jangan mencari-cari/mengintai aurat6 mereka. Karena orang yang suka mencari-cari aurat kaum muslimin, Allah akan mencari-cari auratnya. Dan siapa yang dicari-cari auratnya oleh Allah, niscaya Allah akan membongkarnya di dalam rumahnya (walaupun ia tersembunyi dari manusia).” (HR. Ahmad 4/420, 421,424 dan Abu Dawud no. 4880. Kata Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud: “Hasan shahih.”) Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma menyampaikan hadits yang sama, ia berkata, “Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam naik ke atas mimbar, lalu menyeru dengan suara yang tinggi: “Wahai sekalian orang yang mengaku berislam dengan lisannya dan iman itu belum sampai ke dalam hatinya. Janganlah kalian menyakiti kaum muslimin, janganlah menjelekkan mereka, jangan mencari-cari aurat mereka. Karena orang yang suka mencari-cari aurat saudaranya sesema muslim, Allah akan mencari-cari auratnya. Dan siapa yang dicari-cari auratnya oleh Allah, niscaya Allah akan membongkarnya walau ia berada di tengah tempat tinggalnya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2032, dihasankan Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu dalam Ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa fish Shahihain, hadits no. 725, 1/581) Dari hadits di atas tergambar pada kita betapa besarnya kehormatan seorang muslim. Sampai-sampai ketika suatu hari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma memandang ke Ka’bah, ia berkata: “Alangkah agungnya engkau dan besarnya kehormatanmu. Namun seorang mukmin lebih besar lagi kehormatannya di sisi Allah darimu.” Karena itu saudariku… Tutuplah cela yang ada pada dirimu dengan menutup cela yang ada pada saudaramu yang memang pantas ditutup. Dengan engkau menutup cela saudaramu, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menutup celamu di dunia dan kelak di akhirat. Siapa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tutup celanya di dunianya, di hari akhir nanti Allah Subhanahu wa Ta’ala pun akan menutup celanya sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah Allah menutup aib seorang hamba di dunia melainkan nanti di hari kiamat Allah juga akan menutup aibnya.” (HR. Muslim no. 6537) Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Sesungguhnya (di hari penghisaban nanti) Allah mendekatkan seorang mukmin, lalu Allah meletakkan tabir dan menutupi si mukmin (sehingga penghisabannya tersembunyi dari orang-orang yang hadir di mahsyar). Allah berfirman: ‘Apakah engkau mengetahui dosa ini yang pernah kau lakukan? Apakah engkau tahu dosa itu yang dulunya di dunia engkau kerjakan?’ Si mukmin menjawab: ‘Iya, hamba tahu wahai Rabbku (itu adalah dosa-dosa yang pernah hamba lakukan).’ Hingga ketika si mukmin ini telah mengakui dosa-dosanya dan ia memandang dirinya akan binasa karena dosa-dosa tersebut, Allah memberi kabar gembira padanya: ‘Ketika di dunia Aku menutupi dosa-dosamu ini, dan pada hari ini Aku ampuni dosa-dosamu itu.’ Lalu diberikanlah padanya catatan kebaikan-kebaikannya…” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Sumber
Read More ->>

Kamis, 24 Maret 2016

Adab Berbakti Kepada Kedua Orang Tua di Waktu Hidup dan Setelah Matinya


  Kedua orang tuaibu-bapak kita, adalah manusia yang paling berjasa dan utama bagi diri seseorang, Allah telah memerintahkan dalam berbagai tempat di dalam Al-Qur’an agar berbakti kepada kedua orang tua. Allah menyebutkannya berbarengan denganpentauhidan-Nya dan memerintahkan para hamba-Nya untuk melaksanakannya sebagaimana akan disebutkan berikut. Hak kedua orang tua merupakan hak terbesar yang harus dilaksanakan oleh setiap Muslim. Baik ketika keduanya masiih hidup maupun ketika sudah meninggal dunia. Islam menjadikan berbakti kepada kedua orang tua sebagai sebuah kewajiban yang sangat besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika ditanya tentang amal-amal saleh yang paling tinggi dan mulia,

“Shalat tepat pada waktunya … berbuat baik kepada kedua orang tua … jihad di jalan Allah.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Lihatlah … betapa kedudukan orang tua sangat agung dalam Islam, sampai-sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menempatkannya sebagai salah satu amalan yang paling utama. Lalu, sudahkah kita berbakti kepada kedua orang tua?
Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak mendapatkan perlakuan baik dariku?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ibumu.” Laki-laki itu bertanya kembali, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Lagi-lagi beliau menjawab, “Ibumu.” Orang itu pun bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Maka beliau menjawab, “Ayahmu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Suatu ketika Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bertanya kepada seseorang, “Apakah engkau takut masuk neraka dan ingin masuk ke dalam surga?” Orang itu menjawab, “Ya.” Ibnu Umar berkata, “Berbaktilah kepada ibumu. Demi Allah, jika engkau melembutkan kata-kata untuknya, memberinya makan, niscaya engkau akan masuk surga selama engkau menjauhi dosa-dosa besar.” (HR. Bukhari)

A. Hak yang Wajib Dilaksnakan Ketika Orang Tua Masih Hidup

1. Mentaati Mereka Selama Tidak Mendurhakai Allah
Mentaati kedua orang tua hukumnya wajib atas setiap Muslim. Haram hukumnya mendurhakai keduanya. Tidak diperbolehkan sedikit pun mendurhakai keduanya. kecuali apabila mereka menyuruh untuk menyekutukan Allah atau mendurhakai-Nya. 
وَإِن جَـٰهَدَاكَ عَلَىٰٓ أَن تُشۡرِكَ بِى مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌ۬ فَلَا تُطِعۡهُمَا‌ۖ
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya,... (Q.S. Lukman: 15).
Tidak boleh mentaati makhluk untuk mendurhakai Allah, penciptanya, sebagaimana sabda Rasulullah saw.
 لاَ طَاعَةَ ( لَبَشَرٍ ) فَيٍ مَعْصِيَةِ اللهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ
“Tiada kewajiban untuk taat (kepada seseorang) yang memerintahkan untuk durhaka kepada Allah I. Kewajiban taat hanya pada hal yang ma’ruf.” [1]
2. Berbakti dan Merendahkan Diri di Hadapan Kedua Orang Tua
Allah berfirman:
وَوَصَّيۡنَا ٱلۡإِنسَـٰنَ بِوَٲلِدَيۡهِ إِحۡسَـٰنًا‌ۖ 
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, (Q.S. Al-Ahqaaf: 15), 
وَٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَلَا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡـًٔ۬ا‌ۖ وَبِٱلۡوَٲلِدَيۡنِ إِحۡسَـٰنً۬ا 
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, ... (Q.S. An-Nisa: 36)
Dan di dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda:"Sungguh merugi, sungguh merugi, dan sungguh merugi orang yang mendapatkan kedua orang tuanya yang sudah renta atau salah seorang dari mereka kemudian hal itu tidak dapat memasukkannya ke dalam surga."[2]
Diantara bakti kepada kedua orang tua adalah:
- Menjauhkan ucapan dan perbuatan yang dapat menyakiti kedua orang tua walaupun dengan isyarah atau ucapan "ah"
- Senantiasa membuat mereka ridha dengan melakukan apa yang mereka inginkan.
- Tidak mengeraskan suara melebihi suara kedua orang tua atau di hadapan mereka berdua.
- Tidak boleh berjalan di depan mereka, atau mendahului mereka, atau masuk dan keluar mendahului mereka, atau mendahului urusan mereka berdua.
3. Berbicara dengan Lembut di Hadapan Mereka
Firman Allah Ta'ala: 
فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ۬ وَلَا تَنۡہَرۡهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوۡلاً۬ ڪَرِيمً۬ا .....
"..... maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. ". (Q.S. Al-Isra';23).
4. Menyediakan Makanan untuk Mereka
Sepantasnya disediakan untuk mereka makanan dan minuman yang terbaik dan lebih mendahulukan mereka berdua daripada dirinya, anaknya, dan isterinya.
5. Meminta Izin kepada Mereka Sebelum Berjihad dan Pergi untuk Urusan Lainnya
Izin kepada orang tua diperlukan untuk jihad yang belum ditentukan. Seorang lelaki datang menghadap Rasulullah saw. dan bertanya: "Ya Rasulullah, apakah aku boleh ikut berjihad ?" Beliau balik bertanya:'Apakah kamu masih mempunyai kedua orang tua?" Laki-Laki itu menjawab: "masih". Beliau bersabda: "Berjihadlah (dengan cara berbakti) kepada keduanya." [3]
Seorang Laki-laki berkata kepada beliau: "Aku membai'at Anda untuk berhijrah dan berjihad semata-mata hanya mengharapkan pahala dari Allah swt." Beliau bersabda kepada laki-laki tersebut: "Apakah salah satu kedua orang tuamu masih hidup?"  Laki-laki itu menjawab: "Masih, bahkan keduanya masih hidup." Beliau kembali bersabda: "Apakah kamu ingin mendapatkan pahala dari Allah Ta'ala? Lelaki itu menjawab: "Ya" Kemudian Nabi saw. bersabda: "Kembalilah kamu kepada kedua orang tuamu dan berbaktilah kepada keduanya."[4]
6. Memberikan Harta kepada Orang Tua Menurut Jumlah yang Mereka Inginkan
Rasulullah saw. pernah bersabda kepada seorang laki-laki ketika ia berkata: "Ayahku ingin mengambil hartaku." Nabi saw. bersabda:  "Kamu dan hartamu milik ayahmu."
Oleh sebab itu hendaknya seseorang jangan bersikap bakhil (kikir) terhadap orang yang menyebabkan keberadaan dirinya, memeliharanya ketika kecil dan lemah, serta telah berbuat baik kepadanya.
7. Membuat Keduanya Ridha dengan Berbuat Baik kepada Orang-Orang yang Dicintai Oleh Mereka
Yakni dengan cara berbuat baik kepada para saudara, karib kerabat, teman-teman dan selain mereka. Memuliakan mereka, menyambung tali silaturahim dengan mereka, menunaikan janji-janji (orang tua) kepada mereka.
8. Memenuhi Sumpah Kedua Orang Tua
Apabila kedua orang tua bersumpah kepada anaknya untuk suatu perkara tertentu yang di dalamnya tidak terdapat perbuatan maksiat, maka wajib bagi seorang anak memenuhi sumpah keduanya karena itu termasuk hak mereka.
9. Tidak Mencela Orang Tua atau Tidak Menyebabkan Mereka Dicela Orang Lain.
Orang-orang sering bergurau dan bercanda dengan melakukan perbuatan yang tercela ini, sadar atau tidak mereka terjerumus kepada saling membangga-banggakan orang tuanya/keturunannya hingga akhirnya saling mencela orang tua mereka. Rasulullah saw. bersabda: "Termasuk dosa besar adalah seseorang mencela orang tuanya. " Para sahabat bertanya: "Ya Rasulullah, apa ada orang yang mencela orang utanya?" Beliau menjawab: "Ada. Ia mencela ayah orang lain kemudian orang itu membalas mencela orang tuanya. Ia mencela ibu orang lain lalu orang itu membalas mencela ibunya." [5].
10. Mendahulukan Berbakti kepada Ibu daripada Ayah
Seorang laki-laki pernah bertanya kepada Rasulullah saw. :"Siapa yang paling berhak mendapatkan perlakuan baik dariku?" Beliau menjawab: "Ibumu." Laki-laki itu bertanya lagi: "Kemudaian siapa lagi?" Beliau kembali menjawab: "Ibumu." Laki-laki itu kembali bertanya: "Kemudian siapa lagi?" Beliau menjawab: "Ibumu." Lalu siapa lagi?" Tanyanya. "Ayahmu" Jawab beliau." [6].
Maksud lebih mendahulukan berbuat baik kepda ibu, yaitu lebih bersikap lemah-lembut, lebih berperilaku baik, dan memberikan sikap yang lebih halus daripada ayah. Hal ini apabila keduanya berada di aatas kebenaran.

B. Hak Orang Tua Setelah Mereka Meninggal Dunia

1. Menshalati Keduanya
Maksud menshalati di sini adalah mendo'akan keduanya setelah meninggal duni, karena ini termasuk bakti kepada mereka. Berdasarkan sabda Rasulullah saw.:Apabila manusia sudah meninggal, maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendo'akan dirinya. [7].
2. Beristighfar untuk Mereka Berdua
Orang tua adalah orang yang paling utama bagi seorang Muslim untuk dido'akan agar  Allah mengampuni mereka karena kebaikan mereka yang besar. Allah Ta'ala menceritakan kisah Nabi Ibrahim a.s. dalam Al-Qur'an: 
..... رَبَّنَا ٱغۡفِرۡ لِى وَلِوَٲلِدَىَّ
"Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapakku... " (Q.S. Ibrahim: 41)
3. Menunaikan Janji Kedua Orang Tua
Yakni menunaikan wasiat kedua orang tua dan melanjutkan secara berkesinambungan amalan-amalan kebaikan yang dahulu pernah dilakukan keduanya.
4. Memuliakan Teman Kedua Orang Tua
Disebutkan dalam sebuah hadits, Ibnu 'Umar r.a. pernah berpapasan dengan seorang Arab badui di jalan menuju Makkah. Kemudian Ibnu 'Umar mengucapkan salam kepdanya dan mempersilakannya naik ke atas keledai yang ia tunggangi. Selanjutnya ia juga memberikan sorbannya yang ia pakai. Ibnu Dinar berkatan: "Semoga Allah memuliakanmu, mereka itu orang Arab badui dan mereka sudah terbiasa berjalan." Ibnu 'Umar berkata: "Sunguh, dulu ayahnya teman 'Umar bin Khattab dan aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: "Sesungguhnya bakti anak yang terbaik ialah seorang anak yang menyambung tali persahabatan dengan keluarga teman ayahnya setelah ayahnya tersebut meninggal." [8].
5. Menyambung Tali Silaturahim dengan Kerabat Ibu dan Ayah
Yakni menyambung tali silaturahim dengan semua kerabat yang silsilah keturunannya bersambung dengan ayah dan ibu, seperti paman dari pihak ayah dan ibu, bibi dari pihak ayah dan ibu, kakek, nenek, dan anak-anak mereka semua. Rasuullah saw. bersabda:"Barangsiapa ingin menyambung silaturahim ayahnya yang ada di kuburannya, maka sambunglah tali silaturahim dengan saudara-saudara ayahnya setelah ia meninggal." [9].

C. Ayat-Ayat Al-Qur'an Tentang Berbakti Kepada Kedua Orang Tua

1. Perintah melayani orang tua dengan sabar dan penuh hormat
(17)  Al-Isra': 23-24
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعۡبُدُوٓاْ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلۡوَٲلِدَيۡنِ إِحۡسَـٰنًا‌ۚ إِمَّا يَبۡلُغَنَّ عِندَكَ ٱلۡڪِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوۡ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ۬ وَلَا تَنۡہَرۡهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوۡلاً۬ ڪَرِيمً۬ا (٢٣) وَٱخۡفِضۡ لَهُمَا جَنَاحَ ٱلذُّلِّ مِنَ ٱلرَّحۡمَةِ وَقُل رَّبِّ ٱرۡحَمۡهُمَا كَمَا رَبَّيَانِى صَغِيرً۬ا
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (23) Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (24).
2. Tidak mengikuti jika kedua orang tua menyuruh pada kesyirikan
(29) Al-Ankabut: 8
وَوَصَّيۡنَا ٱلۡإِنسَـٰنَ بِوَٲلِدَيۡهِ حُسۡنً۬ا‌ۖ وَإِن جَـٰهَدَاكَ لِتُشۡرِكَ بِى مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌ۬ فَلَا تُطِعۡهُمَآ‌ۚ إِلَىَّ مَرۡجِعُكُمۡ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَ 
Dan Kami wajibkan manusia [berbuat] kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (8).
3. Kepayahan ibu mengandung dan menyapih
(31)  Lukman: 14-15
وَوَصَّيۡنَا ٱلۡإِنسَـٰنَ بِوَٲلِدَيۡهِ حَمَلَتۡهُ أُمُّهُ ۥ وَهۡنًا عَلَىٰ وَهۡنٍ۬ وَفِصَـٰلُهُ ۥ فِى عَامَيۡنِ أَنِ ٱشۡڪُرۡ لِى وَلِوَٲلِدَيۡكَ إِلَىَّ ٱلۡمَصِيرُ (١٤) وَإِن جَـٰهَدَاكَ عَلَىٰٓ أَن تُشۡرِكَ بِى مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌ۬ فَلَا تُطِعۡهُمَا‌ۖ وَصَاحِبۡهُمَا فِى ٱلدُّنۡيَا مَعۡرُوفً۬ا‌ۖ وَٱتَّبِعۡ سَبِيلَ مَنۡ أَنَابَ إِلَىَّ‌ۚ ثُمَّ إِلَىَّ مَرۡجِعُكُمۡ فَأُنَبِّئُڪُم بِمَا كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَ
Dan Kami perintahkan kepada manusia [berbuat baik] kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (14) Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (15).
4. Jasa dan perjuangan orang tua untuk anak-anaknya
(46)  Al-Ahqaf: 15-18
وَوَصَّيۡنَا ٱلۡإِنسَـٰنَ بِوَٲلِدَيۡهِ إِحۡسَـٰنًا‌ۖ حَمَلَتۡهُ أُمُّهُ ۥ كُرۡهً۬ا وَوَضَعَتۡهُ كُرۡهً۬ا‌ۖ وَحَمۡلُهُ ۥ وَفِصَـٰلُهُ ۥ ثَلَـٰثُونَ شَہۡرًا‌ۚ حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ ۥ وَبَلَغَ أَرۡبَعِينَ سَنَةً۬ قَالَ رَبِّ أَوۡزِعۡنِىٓ أَنۡ أَشۡكُرَ نِعۡمَتَكَ ٱلَّتِىٓ أَنۡعَمۡتَ عَلَىَّ وَعَلَىٰ وَٲلِدَىَّ وَأَنۡ أَعۡمَلَ صَـٰلِحً۬ا تَرۡضَٮٰهُ وَأَصۡلِحۡ لِى فِى ذُرِّيَّتِىٓ‌ۖ إِنِّى تُبۡتُ إِلَيۡكَ وَإِنِّى مِنَ ٱلۡمُسۡلِمِينَ (١٥) أُوْلَـٰٓٮِٕكَ ٱلَّذِينَ نَتَقَبَّلُ عَنۡہُمۡ أَحۡسَنَ مَا عَمِلُواْ وَنَتَجَاوَزُ عَن سَيِّـَٔاتِہِمۡ فِىٓ أَصۡحَـٰبِ ٱلۡجَنَّةِ‌ۖ وَعۡدَ ٱلصِّدۡقِ ٱلَّذِى كَانُواْ يُوعَدُونَ (١٦) وَٱلَّذِى قَالَ لِوَٲلِدَيۡهِ أُفٍّ۬ لَّكُمَآ أَتَعِدَانِنِىٓ أَنۡ أُخۡرَجَ وَقَدۡ خَلَتِ ٱلۡقُرُونُ مِن قَبۡلِى وَهُمَا يَسۡتَغِيثَانِ ٱللَّهَ وَيۡلَكَ ءَامِنۡ إِنَّ وَعۡدَ ٱللَّهِ حَقٌّ۬ فَيَقُولُ مَا هَـٰذَآ إِلَّآ أَسَـٰطِيرُ ٱلۡأَوَّلِينَ (١٧) أُوْلَـٰٓٮِٕكَ ٱلَّذِينَ حَقَّ عَلَيۡهِمُ ٱلۡقَوۡلُ فِىٓ أُمَمٍ۬ قَدۡ خَلَتۡ مِن قَبۡلِهِم مِّنَ ٱلۡجِنِّ وَٱلۡإِنسِ‌ۖ إِنَّہُمۡ ڪَانُواْ خَـٰسِرِينَ 

Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah [pula]. Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo’a: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni’mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan [memberi kebaikan] kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri". (15) Mereka itulah orang-orang yang Kami terima dari mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan dan Kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka, bersama penghuni-penghuni surga, sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka. (16) Dan orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya: "Cis bagi kamu keduanya, apakah kamu keduanya memperingatkan kepadaku bahwa aku akan dibangkitkan, padahal sungguh telah berlalu beberapa umat sebelumku?" lalu kedua ibu bapaknya itu memohon pertolongan kepada Allah seraya mengatakan, "Celaka kamu, berimanlah! Sesungguhnya janji Allah adalah benar". Lalu dia berkata: "Ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang yang dahulu belaka". (17) Mereka itulah orang-orang yang telah pasti ketetapan [azab] atas mereka bersama umat-umat yang telah berlalu sebelum mereka dari jin dan manusia. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang merugi. (18)
             ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻚَ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻭَﺑِﺤَﻤْﺪِﻙَ ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥْ ﻻَ ﺇِﻟﻪَ ﺇِﻻَّ ﺃَﻧْﺖَ ﺃَﺳْﺘَﻐْﻔِﺮُﻙَ ﻭَﺃَﺗُﻮْﺏُ ﺇِﻟَﻴْﻚ           
“Maha suci Engkau ya Allah, dan segala puji bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Engkau. 
Aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.”
Semoga bermanfaat.
Read More ->>

kesalahan dalam mengucapkan dan penulisan SALAM

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Apa kabar semuanya? semoga kabar baik selalu 


menyertai kita semua dimanapun beradaAamiin


Pada kesempatan kali ini ane akan sedikit 

mengupas tentang Kesalahan Dalam Penulisan

dan  Pengucapan Salam (Assalamu'alaikum).

Penulisan ataupun pengucapan salam (Assalamu'alaikum) adalah sebuah 


sapaan yang di dalamnya terdapat do'a keselamatan yang artinya adalah 


semoga kamu terselamatkan dari segala duka, kesulitan dan nestapa.

Ibnu Al-Arabi di dalam kitabnya Al-Ahkamul Qur’an mengatakan bahwa 


Salam adalah salah satu ciri-ciri Allah Subhanahu Wata'ala dan berarti 


“Semoga Allah menjadi Pelindungmu”, dengan dasar ini mari kita sejenak 


mengupas tata cara salam dalam Islam yang baik dan benar.

Secara pribadi ane sering sekali menemukan kesalahan-kesalahan dalam 


penyampaian salam, dan tidak menutup kemungkinan juga secara tidak 


disadari kita pernah menyampaikan salam yang salah, jadi mari kita 


evaluasi bersama-sama mengenai salam yang benar.

1. PENULISAN SALAM

kesalahan yang sering terjadi dan mungkin tanpa kita sadari juga yaitu 

dalam penyingkatan salam (Assalamu'alaikum) dalam penulisan SMS, 

chatting, surat, email, facebook, twitter dan lainnya, kita tidak bisa 

seenaknya saja mempersingkat salam (Assalamu'alaikum) ini kenapa 

demikian? karena sesuai dengan yang ane utarakan diawal bahwa salam 

dalam islam adalah sapaan yang didalamnya terdapat do'a keselamatan, 

penyingkatan yang salah dalam kebiasaan kita adalah seperti ini :

As, Ass, Akum, Askum, Mikum, Ass. Wr. Wb, Assalamu'alaikum Wr. 

Wb. dan masih banyak lagi penyingkatan salam dengan gaya dan bahasa 

gaul lainnya yang kesemuanya itu malah menjadikan Assalamu'alaikum 

menjadi berubah arti dan maknanya seperti :

- As

dalam bahasa inggris memiliki arti sebagai.

- Ass

dalam bahasa inggris memiliki arti yang sangat parah yaitu keledai, 


orang bodoh dan (maaf) pantat.

- Akum

gelar untuk orang-orang yahudi adalah singkatan dari “Avde Kokhavim U 

Mazzalot” yang artinya Hamba-hamba binatang dan orang-orang sesat

jelas sekali penyingkatan yang tertera diatas sangat jauh dari makna 


do'a 

keselamatan yang tadinya dimaksudkan untuk mendo'akan hal yang baik 

tapi malah sebaliknya


2. PENGUCAPAN SALAM

Kesalahan dalam pengucapan salam yang terkadang sekilas ini seperti b

enar, bahkan tidak sedikit pula yang mengucapkan salam ini adalah 

orang-orang yang berpendidikan tinggi dan bertitle Haji, Hajah, ustad dan 

tokoh-tokoh masyarakat lainnya, atau mungkin kita juga pernah 

mengucapkannya, seperti apakah pengucapan salam yang salah tapi 

seperti benar itu?

Yaitu Assalamu'alaikum yang ditambahkan kata “Ta’ala”, ane yakin kita 

semua pasti pernah mendengar pengucapan “Assalamualaikum” dengan 

ditambahkan kata “Ta’ala”, biasanya diucapkan seperti ini 

“Assalamu'alaikum warahmatullahi ta’ala wabarakatuh”, sekilas 

pengucapan salam seperti itu terdengar begitu bagus dan terdengar 

begitu benar, padahal ini adalah salah.

Cara Memberi salam antara sesama umat islam ini ada dalam hadist dan 

merubah hadist hukumnya adalah pancung, disinilah kenapa 

menambahkan “Ta’ala” dalam salam Assalamu'alaikum adalah salah.

Menurut Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar menjelaskan bahwa Nabi 

besar kita Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wassalam telah mengajarkan 

kepada kita cara menyampaikan salam antara sesama umat islam 

dengan 

3 ucapan salam yaitu :

1. Assalamu'alaikum (10 pahala)

2. Assalamu'alaikum Warahmatullah (20 pahala)

3. Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh (30 pahala)

Hasan Al-Basri mengatakan : Mengawali ucapan salam sifatnya sunah 


(sukarela) sedangkan menjawab salam sifatnya wajib (harus)

Allah Subhanahu Wata'ala berfirman di dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa 


Ayat 86:


Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan maka balaslah 

dengan penghormatan yang lebih baik, atau balaslah dengan yang 

serupa. 

Sesungguhnya Allah akan memperhitungkan setiap yang kamu kerjakan.

Demikianlah Allah memerintahkan agar seseorang membalas dengan 

ucapan yang setara atau yang lebih baik. Hal ini telah dicontohkan oleh 

Rasulullah Shalalahu 'Alaihi Wassalam sebagaimana yang disebutkan 

oleh 

Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hathim. Suatu hari ketika Rasulullah Shalallahu 

'Alaihi Wassalam sedang duduk bersama para sahabatnya, seseorang 

datang dan mengucapkan “Assalaamu'alaikum” Maka Beliau pun 

membalas dengan ucapan “Wa'alaikumsalam warahmatullah”.

Orang kedua datang dengan mengucapkan “Assalaamu'alaikum 

warahmatullah” Maka Beliau membalas dengan “Wa'alaikumsalam 

warahmatullah wabarakatuh”.

Ketika orang ketiga datang dan mengucapkan “Assalaamu'alaikum 

warahmatullah wabarakatuh” Beliau menjawab: ”Wa'alaika”

Orang yang ketiga pun terperanjat dan bertanya, namun tetap dengan 

kerendahan hati.

”Wahai Rasulullah, ketika mereka mengucapkan salam yang ringkas 

kepadamu, engkau membalas dengan salam yang lebih baik kalimatnya. 

Sedangkan aku memberi salam yang lengkap kepadamu, Engkau 

membalasku dengan sangat singkat hanya dengan wa’alaika”.

Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam menjawab.

”Engkau sama sekali tidak menyisakan ruang bagiku untuk yang lebih 

baik, Karena itulah aku membalasmu dengan ucapan yang sama 

sebagaimana yang di jabarkan Allah di dalam Al-Qur’an”.

Kesimpulannya tulis dan ucapkanlah kalimat Assalamau'alaikum 

Warahmatullahi Wabarakatuh dengan baik dan benar menurut ajaran 

Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam (tanpa di singkat-singkat).

Mungkin hanya itu yang dapat ane sampaikan tentang Kesalahan Dalam 

Penulisan Dan Pengucapan Salam semoga ada manfaatnya, mohon maaf 

jika ada kesalahan karena ane sendiri masih dalam tahap belajar.

Akhir kata ane ucapkan banyak terima kasih atas kunjungan anda.

Assalamau'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Read More ->>
Diberdayakan oleh Blogger.